Tuesday, August 31, 2021

Thank You

Hi. Thank you August!

I've tried and understood many things. I hope all of these experiences can make me choose the best choice in the future.

Friday, July 16, 2021

Juang Menyala

Suatu hari, sebuah instagram story yang membuat saya menulis ini muncul di layar HP. Tangkapan layar youtube dengan cover depan short movie “We” dan sebait kisah miliknya yang relate dengan karya short movie tersebut. Sebelum masuk ke short movie tersebut, saya ceritakan dulu isi kisah si pemillik story ini. Diawali dengan kalimat “Bapakku seorang supir minibus…”
 
Ia bercerita tentang sosok ayahnya yang bekerja sebagai supir, dan selalu mengantarnya ke bandara saat harus berpergian dengan pesawat. Hanya sampai batas luar bandara saja, tanpa tau isi dalamnya seperti apa. Hingga suatu hari, ia bersama anggota keluarga lain harus membaya ayahnya berobat ke luar negeri. Saat itulah pertama kali ayahnya mengetahu seperti apa isi bandara. Ayahnya terpana. Bayangkan, bertahun-tahun mengantar penumpang dan anaknya ke bandara, tapi baru kali ini ia memiliki kesempatan untuk melihat bandara yang sesungguhnya. Momen terindah, karena,…
(saya kembali menangis saat menulis kalimat ini)
Itu adalah kali pertama dan terakhir baginya melihat bandara.
 
Berawal dari kisah ini, saya memiliki sebuah ekspektasi sendiri terhadap Short Movie berjudul We tersebut. Singkat cerita, saya menjemput ekspektasi yang sudah bermanin-main di kepala saya dari channel youtube Riuh Records. Durasinya sekitar 12 menit, diawali dengan scene seorang anak yang menunggu ayahnya pulang membawa laptop lalu mengakses pengumuman kelulusan. Lalu ekspektasi saya perlahan mulai terjawab saat sebuah lagu yang berjudul “Juang Menyala” mulai terputar di detik 03.26. Perlahan, saya tak bisa membendung tangis. Ada rasa sesak yang mengalir di diri saya saat melihat sosok ayah di film tersebut.
 
“Di matamu menemui kami yang terang
segala swara membuncah doa
tumbuhlah ampuh dan mampu
 
Di senangmu menjumpai kami yang megah
setinggi langit membentang doa
tenang dan benamkan riuh
 
Kemana kau bermuara
semaumu di tanganmu
terang jalan kekal
kami menunggumu bertumbuh
menyanyi menari berlari
terus menunggumu bertumbuh
besar di pangkuan mendera”
Juang Manyala ft. Cholil Mahmud & Gardika Gigih
 
Dari sana, tidak ada dialog hingga beberapa menit. Tapi saya paham makna yang ingin disampaikannya. Tergambar jelas dari sosok sang ayah. Saat sedang makan, minum kopi, melihat anaknya berkemas, hingga saat menatap sosok anaknya dari belakang usai meletakkan koper dibagasi mobil. Ia diam beberapa detik. Perasaannya seperti tertahan. Hingga saat sang anak pamit pergi, matanya mulai berkaca, tapi masih ditahan. Puncaknya adalah ketika ia kembali pulang kerumah selepas mengantar anaknya pergi, ia melihat kue yang tadi diletakkan anaknya. Untuk sesaat ia terdiam sambil mengenang momen-momen bersama. Berusaha keras untuk tegar dan kuat. Tapi itu semua tidak bertahan. Gigitan pertama kue, air matanya menetes setelah berusaha keras.
 
Seperti apa rasanya melepas sang anak?
Mungkin seperti sosok ayah di short movie berjudul “We” ini. Sosok yang selalu terlihat tegar dan tidak ekspresif dalam mengungkapkan perasaannya.
 
Dan lagu “Juang Menyala” ini rasanya sangat cocok. Sangat! Mungkin jika soundtracknya musik yang lain, perasaan yang sampai saat saya menontonnya akan berbeda.
 
Saat menulis ini, saya kembali menontonnya sekali lagi. Dan rasanya tetap sama.
 
Saya jadi melihat karakter “bapak” yang sesungguhnya. Ending film ini ditutup dengan scene yang indah. Di mana saat bapak menelepon anaknya, lalu diberikan hp tersebut ke istrinya. Dan, ya. Silahkan ambil sendiri kesimpulannya. Bagi saya, ini masuk list short movie terbaik, setelah beberapa waktu lalu menonton “Tenang”.
 
Apakah kalian menemukan karakter “Bapak” di film ini?
 
Terima kasih telah membuat short movie ini.

Saturday, June 19, 2021

Tenggelam Dalam Diam

Bulan lalu, sebuah film documenter muncul di beranda youtube saya. Judulnya sangat estetik, Tenggelam Dalam Diam, dengan tampilan tumbnail yang tak kalah estetik juga. Tapi baru benar-benar saya tonton dibulan Juni ini. Jujur, ini adalah video dokumenter Watchdoc Documentary durasi terpanjang perdana yang saya tonton, yaitu sekitar 1 jam. Nontonnya selalu nyicil, dan baru saya selesaikan setelah satu minggu. Yang menarik perhatian saya, pembukaan dokumenter ini disajikan dalam bentuk dua percakapan orang, yaitu Doly Harahap dan Irene Barlian. Irene, serorang fotografer documenter, menelfon Doly, seorang pemusik sekaligus fotografer, mengajaknya terjun dalam sebuah projek mengenai krisis iklim. Mereka berdua berpencar menyusuri pesisir pantai utara Pulau Jawa untuk menangkap gambaran realita yang terjadi. Irene berangkat dari Surabaya, dan Doly berangkat dari Jakarta. Mereka memutuskan untuk bertemu di Jawa Tengah sambil mengerjakan projek tersebut. Yang membuat ini tambah menarik lagi adalah, mereka berdua mengajak orang-orang yang berbeda tiap menyulusuri daerah baru, rata-rata dari mereka adalah pekerja seni.


Doly memulai perjalanannya dari daerah Muara Batu, sebuah teluk di Jakarta. Sedangkan Irene dari Mangare, Gresik, Jawa Timur. Dari Film Dokumenter Tenggelam Dalam Diam ini, saya jadi tau tentang realita daerah pesisir pantai utara Pulau Jawa. Miris. Permukaan air laut jadi lebih tinggi dari daratan karena setiap tahunnya permukaan air laut terus naik. Wilayah ini diselamatkan oleh tanggul yang memisahkan antara laut dan pemukiman. Sejak dibangun, tanggul tersebut sudah tiga kali ditinggikan karena air laut terus naik. Belum lagi rembesan air dari bawah karena tekanan air laut yang membuat warga harus memompa dan membuang air rembesan tersebut kembali ke laut. Persoalan warga Muara Batu tidak hanya itu, mereka bahkan sulit mendapatkan air bersih untuk mandi, mencuci dsb. Dengan mayoritas penduduk adalah golongan menengah ke bawah, mereka harus mengeluarkan biaya yang cukup tinggi untuk sekedar membeli air bersih. Sedih saat menonton bagian ini. Belum lagi mereka harus memikirkan biaya biaya untuk kebutuhan lainnya.
 
Saya jadi ingat apa yang Doly katakan. Sampai kapan tanggul tersebut bertahan dan menjadi penyelamat Ibu Kota Jakarta? Karena permukaan air laut terus naik dan permukaan tanah di Jakarta turun setiap tahun sekitar 2.5 cm menurut Lembaga Ilmu Pengetahun Indonesia.


Di sisi lain, Irene bersama Ade Putri (pencerita kuliner Indonesia) menyusuri Kawasan tambak di Pulau Mengare, yang kini menyatu dengan pulau Jawa akibat pengendapat lumpur sungai bengawan solo. Tambak tersebut menghasilkan ikan bandeng yang kian berkurang akibat tanggul penahan arus air laut hancur, serta abrasi yang terjadi. Ada satu scene yang sangat menyentuh menurut saya, itu adalah saat Irene dan Ade Putri menghampiri pekerja di tambak. Mereka sedang membangun tanggul dengan tanah dan lumpur secara manual.
“Jadi kalau ini nanti ombaknya besar, tambak di sini bisa hilang, Pak?”
“Ya kalau enggak dibentengi dengan tanggul, enggak gini. Bisa hancur.”
“Sejauh ini efektif, Pak?”
(Si Bapak diam sejenak) “Untuk sementara aja.”
“Berapa lama itu?”
“Paling lama, setengah tahun.”
 
Mereka terkejut dan saling tatap-tatapan. Saya justru semakin merinding saat melihat mereka ikut terkejut dan bertatapan. Bagaimana tidak. Tanggul yang dibangun dari tanah lumpur yang entah berapa lama pengerjaannya itu, hanya bertahan ‘paling lama setengah tahun’.


Selama ini pohon pohon mangrovelah yang ikut menyelamatkan tambak dan daratan dari abrasi. Saya jadi belajar sedikit tentang jenis mangrove. Untuk melindungi tambak dari arus laut, tidak boleh sembarangan menanam mangrove. Ada beberapa jenis mangrove, seperti bentuk akar yang keluar dari batang pohon lalu menancap ke tanah, dan ada juga akar yang muncul dari bawah tanah muncul ke atas.
 
Perjalanan terus membawa mereka bertemu dan melihat realita baru. Berbagi tentang temuan yang sudah mereka kumpulkan dengan masyarakat, bertemu dengan para musisi yang lagu-lagunya menceritakan tentang lingkungan dan sosial, dan juga mengunjungi langsung rumah warga yang terendam air. Ternyata, daerah pesisir memang sangat terancam dengan banjir rob, banjir yang disebabkan oleh permukaan air laut yang menutupi daratan. Sebagian dari masyarakat yang hidup dipemukiman yang sudah tergenang air selama beberapa tahun terakhir, memilih pindah. Sisanya bertahan karena beberapa alasan. Mereka yang bertahan, terpaksa menimbun lantai rumah setiap tahunnya. Mirisnya, karena terus ditimbun, isi rumah semakin sempit, bahkan kepala bisa menyentuh sisi atap jika tidak berjalan sambil menunduk.
 
 



Di daerah Tambakrejo terdapat area pemakaman umum, yang bisa dikunjungi hanya saat air laut sedang surut. Menurut pengakuan salah satu warga yang anggota keluarganya dimakamkan di sana, beberapa kerangka anggota keluarga yang sudah meninggal dipindahkan oleh keluarganya, sisanya tetap di sana, tenggelam.


Ada hal keren yang saya tangkap dari penyelusuran mereka di daerah-daerah yang rawan terkena banjir. Selain masyarakat diajak untuk ikut menahan laju abrasi dengan menanam mangrove, mereka juga berinisiatif mengolah tanaman mangrove menjadi aneka olahan makanan. Seperti produk dari buah mangrove yang dibuat sirup, dodol, stik, kerupuk, dan sebagainya.
 
Krisis iklim memang membawa dampak pada anomali cuaca dan abrasi yang mengancam keberlanjutan hidup masyarakat di pesisir utara Jawa. Seorang pengelola tanaman mangrove di Pekalongan, berinisiatif menanam mangrove karena takut akan terkena tsunami seperti di Aceh. Namun kini justru usahanya dalam menanam mangrove berperan penting dalam menahan laju abrasi. Meskipun menanam mangrove bukanlah solusi utama dalam mengatasi krisis iklim, setidaknya ini bisa menjadi langkah awal dalam menahan abrasi.
 
Cepat pulih, Bumi.

Monday, May 24, 2021

Kehilangan (kehilangan)

"Hei, pernah mengalami ’kehilangan’? Bagaimana rasanya? Apakah hidup terasa jauh lebih berat dari kemarin? Ada berapa macam bentuk kehilangan yang pernah kamu rasakan? Kalau harus merasakan kehilangan lagi, apakah kamu siap? Sudah sesiap apa?"
 
Beberapa waktu belakangan ini, circle pertemanan saya sedang banyak berduka. Dunia memang masih belum membaik, teman. Apakah harimu cukup baik untuk kamu lewatkan sendirian tanpa merasa perlu berbagi sedikit rasa sakit?
 
Beberapa hari menjelang Idul Fitri, notif di HP bertebaran ucapan berduka. Salah satu teman saya kehilangan ibunya. Tak berapa lama setelah notif digrub ramai, masuklah sebuah pesan pribadi, sebut saja namanya Mawar.
Kak, Mawar enggak kebayang gimana rasanya meninggal orang tua di hari-hari menjelang lebaran.”
Menerima pesan itu, saya merenung sejenak. Benar.
Kita bahkan mempersiapkan segala urusan yang bersangkutan dengan lebaran bersama mereka. Seperti memilih dresscode lebaran, jenis-jenis kue kering dalam toples, lontong/ketupat dihari lebaran, dekorasi rumah, dan segala bentuk per-lebaran-an lainnya. Tetapi, saat hari lebaran tiba, justru sosoknya sudah tidak bersama kita lagi untuk menikmati semua keriweuhan yang sudah dipersiapkan.
 
Selang seminggu setelah Mawar mengirimkan chat tersebut, malam hari pukul 22.30, notif dari Mawar kembali masuk.
Kak, Ayah Mawar meninggal, sekitar 21.50 tadi”. Saya membaca 2 kali pesan tersebut, untuk memastikan itu benar dari Mawar. Tanpa menunggu perintah siapapun, saya segera menekan tombol panggilan. Sambil menunggu suara diseberang sana mengangkat telfon, keresahan menyelimuti seluruh tubuh. Saya cemas, jika tiba-tiba lidah ini bisu, tidak ada satu katapun yang dapat keluar. Tak lama, terdengar suaranya.
Halo kak.” ucapnya. Nada bicaranya memang berbeda dari yang biasa. Tapi saya tau, saat itu ia sedang tidak menangis (atau sudah selesai menangis sejak tadi).
Kami tak mengobrol lama, saya hanya tau sedikit kronologisnya. Sebab Mawar sedang menuju klinik untuk melakukan rapid tes dan akan pulang ke rumah esok pagi. Ia sedang berada diluar kota karena bekerja, jadi saat mendapat kabar duka tersebut, saya rasa ia sedang sendirian di kos nya. Saya menawari untuk menjemputnya di bandara esok hari ketika ia tiba. Setelah menunggu dan tidak ada kabar, pesan dari Mawar esok hari kembali masuk. Ia mengabarkan bahwa ia dijemput oleh saudaranya dan sudah di rumah mau melakukan shalat jenazah.
 
Hanya berselang seminggu dari pernyataan Mawar. Kehilangan bisa secepat itu, tanpa memberi celah untuk kita bersiap. Saya jadi ingat salah satu pertanyaan saya pada seseorang beberapa waktu lalu. Ia baru saja mengalami salah satu bentuk kehilangan yang berbeda dari yang Mawar rasakan. Kehilangan membuatnya melakukan aktivitas tanpa rasa. Mati rasa. Lalu saya bertanya padanya. “Dari semua kehilangan yang sudah pernah kamu rasakan, kalau kamu harus kehilangan lagi, apa kamu siap?” Ia diam.
 
Enggak ada orang yang pernah siap dengan kehilangan. Bahkan ketika kita sudah melalui berbagai macam bentuk kehilangan, tetap saja, kehilangan bukan sesuatu yang harus kita syukuri seperti bentuk syukur lainnya. Tetapi, akan selalu ada hikmah dari kehilangan, hikmah itu yang perlu kita syukuri.”

Tuesday, May 4, 2021

Tenang

Akan ada satu lagu yang pada akhirnya  berhasil menenangkan mu dari keterpurukan. And it was me, ketika pertama kali mendengar lagunya Yura Yunita – Tenang. Benar-benar berhasil menenangkan saya saat itu.
 
Dentingan piano di intronya, sudah menghipnotis segala perasaan terpuruk yang saya miliki. Itu menjadi lagu penghilang beban dan trauma satu bulan yang lalu.
 
Tenang, tenang yang tak kunjung datang
Menanti-nanti cahaya-Mu, beri aku petunjuk-Mu
Tenang, tenang, oh, datanglah tenang hari ini
Yura Yunita – Tenang
 
Kalau di tahun 2020, lagu paling spesial versi saya adalah lagunya Nadin Amizah yang berjudul  Bertaut, saya rasa tahun ini adalah lagunya Yura Yunita berjudul Tenang.
 
Benar seperti kata Yura, setiap mendengar lagu ini, setiap liriknya seakan membuat kita berdialog dengan diri sendiri, berdialog dengan Tuhan. Saya justru jadi lebih mengerti dan menerima diri sendiri. Dari semua pencarian, semua pencapaian, semua penyesalan, pada akhirnya merasa tenang itu cukup, lebih dari cukup.
 
Bersamaan dengan lagu Tenang, Yura juga memproduksi sebuah short movie, Tenang, berdurasi kurang lebih 7 menit. Yang saya rasakan setelah menontonnya adalah ketenangan. Tenang, karena pada akhirnya, Ringgo Agus Rahman mengingat suara ayahnya. Jujur saja, scene pada saat Agus memutar video 10 detik yang berhasil diperbaiki dari kaset lama tersebut membuat saya merinding sekaligus terharu. “Bisa, gus?” suara ayahnya. Agus memutar ulang kembali video tersebut. “Bisa, gus?” suara ayahnya kembali memenuhi ruangan yang tenang. Matanya mulai berkaca. Musik kembali beriring. Agus kembali flashback mengenang tentang ayah dan dirinya waktu kecil. Ia berhasil mengingat suara ayahnya kembali.
 
Sebuah cerita yang sangat romantis menurut saya. Kisah seorang ayah dan anak, terpisahkan oleh waktu. Benar-benar tenang melihat endingnya.
 
Jadi, bagaimana perasaanmu sekarang? Sudah lebih baik dari sebelumnya? Sudah merasa tenang?